Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menguasai Jawa dan Nusantara
pada umumnya dibawah pimpinan Gubernur Jendral Herman Willem Daendles
(1808-1811), mempunyai rencana sebuah jalan yang membelah Pulau Jawa,
menghubungkan Anyer di ujung barat dan Panarukan di Ujung Timur. Jalan
ini, yang dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Groote Postweg), membentang
sepanjang kurang lebih 1000 kilometer. Pembuatan jalan tersebut
dimaksudkan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah yang
berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Daedles inilah,
sejak tanggal 25 Mei 1810 , ibu kota Kabupaten Bandung yang semula
berada di Karapyak mengalami perpindahan, mendekati Jalan Raya Pos.
Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menguasai Jawa dan Nusantara pada umumnya dibawah pimpinan Gubernur Jendral Herman Willem Daendles (1808-1811), mempunyai rencana sebuah jalan yang membelah Pulau Jawa, menghubungkan Anyer di ujung barat dan Panarukan di Ujung Timur. Jalan ini, yang dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Groote Postweg), membentang sepanjang kurang lebih 1000 kilometer. Pembuatan jalan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah yang berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Daedles inilah, sejak tanggal 25 Mei 1810 , ibu kota Kabupaten Bandung yang semula berada di Karapyak mengalami perpindahan, mendekati Jalan Raya Pos.
Bupati Wiranata Kusumah II, dengan persetujuan sesepuh serta tokoh-tokoh dibawah pemerintahannya, memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari karapyak ke Kota Bandung sekarang. Daerah yang dipilih sebagai ibu kota baru tersebut, terletak diantara dua buah sungai sungai, yaitu Cikapundung dan Cibadak daerah sekitar alun-alun Bandung sekarang yang dekat dengan Jalan Raya Pos. daerah tersebut tanahnya melandai ke timur laut sehingga cocok dengan persyaratan kesehatan maupun kepercayaan yang dianut saat itu. Sungai-sungai yang mengapitnya juga dapat berfungsi sebagai sarana utilitas kota.
Setahap demi setahap, dimulailah pembangunan ibu kota kabupaten baru. Perpindahan rakyatnya pun dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan pengadaan perumahan serta fasilitas lain yang tersedia.
Menurut buku sejarah Kabupaten Bandung, pada tahun 1846, jumlah penduduk Kota Bandung baru sekitar 11.054 jiwa, terdiri atas 11.000 orang bangsa pribumi, 9 orang bangsa eropa, 15 orang bangsa Cina, dan 30 orang bangsa Arab, serta bangsa Timur lainnya. Saat itu Kota Bandung masih merupakan pemukiman kota kabupaten yang sunyi sepi, dengan pemandangan alam berupa bukit-bukit dan gunung-gunung disekelilingnya.
Pada tahun 1852, daerah priangan terbuka untuk siapa saja yang ingin menetap disana. Dengan adanya pengumuman yang dibuat oleh Residen Priangan, Steinmetz, maka mulailah berdatangan para pemukin baru. Dengan keadaan alam yang sangat mebarik, Bandung sebagai suatu tempat bermukim banyak mengundang para pendatang untuk tinggal dan
menetap ditanah Parahiangan tersebut.
Untuk mengatur pembangunan kota akibat bertambahnya jumlah penduduk, maka disusun suatu pedoman dasar bagi pembangunan Kota Bandung dengan “Rencana Kota Bandung” (Plan der Negorij Bandoeng). Dengan adanya rencana ini, maka dimulailah lebih terarah dan terkendali. Pada tahun 1850, mulailah dibangun Masjid Agung serta Pendopo Kabupaten-saat ini terletak di pusat Kota Bandung. Adanya ruang terbuka, alun-alun, yang berhadapan dengan pendopo yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, serta dibangunnya bangunan-bangunan lain yang berfungsi sebagaifasilitas pelayanan dan penunjang kegiatan pemerintahan kota, seperti kantor pos, penjara, bank dan pasar-mencerminkan tipe pusat kota tradisional dengan sedikit pengaruh Barat.
Itulah sekilas sejarah berdirinya kota Bandung, yang mana dalam perjalanannya Bandung sempat dipersiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, dengan rencana memindahkan ibu kota pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Maka Bandung dipersiapkan sedemikian rupa untuk perpindahan tersebut, salah satunya dengan membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan pemukiman dengan rencana tata ruang yang baik.
(Sumber: Courtessy Bandung Society for Heritage Conservation)
Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menguasai Jawa dan Nusantara pada umumnya dibawah pimpinan Gubernur Jendral Herman Willem Daendles (1808-1811), mempunyai rencana sebuah jalan yang membelah Pulau Jawa, menghubungkan Anyer di ujung barat dan Panarukan di Ujung Timur. Jalan ini, yang dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Groote Postweg), membentang sepanjang kurang lebih 1000 kilometer. Pembuatan jalan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah yang berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Daedles inilah, sejak tanggal 25 Mei 1810 , ibu kota Kabupaten Bandung yang semula berada di Karapyak mengalami perpindahan, mendekati Jalan Raya Pos.
Bupati Wiranata Kusumah II, dengan persetujuan sesepuh serta tokoh-tokoh dibawah pemerintahannya, memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari karapyak ke Kota Bandung sekarang. Daerah yang dipilih sebagai ibu kota baru tersebut, terletak diantara dua buah sungai sungai, yaitu Cikapundung dan Cibadak daerah sekitar alun-alun Bandung sekarang yang dekat dengan Jalan Raya Pos. daerah tersebut tanahnya melandai ke timur laut sehingga cocok dengan persyaratan kesehatan maupun kepercayaan yang dianut saat itu. Sungai-sungai yang mengapitnya juga dapat berfungsi sebagai sarana utilitas kota.
Setahap demi setahap, dimulailah pembangunan ibu kota kabupaten baru. Perpindahan rakyatnya pun dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan pengadaan perumahan serta fasilitas lain yang tersedia.
Menurut buku sejarah Kabupaten Bandung, pada tahun 1846, jumlah penduduk Kota Bandung baru sekitar 11.054 jiwa, terdiri atas 11.000 orang bangsa pribumi, 9 orang bangsa eropa, 15 orang bangsa Cina, dan 30 orang bangsa Arab, serta bangsa Timur lainnya. Saat itu Kota Bandung masih merupakan pemukiman kota kabupaten yang sunyi sepi, dengan pemandangan alam berupa bukit-bukit dan gunung-gunung disekelilingnya.
Pada tahun 1852, daerah priangan terbuka untuk siapa saja yang ingin menetap disana. Dengan adanya pengumuman yang dibuat oleh Residen Priangan, Steinmetz, maka mulailah berdatangan para pemukin baru. Dengan keadaan alam yang sangat mebarik, Bandung sebagai suatu tempat bermukim banyak mengundang para pendatang untuk tinggal dan
menetap ditanah Parahiangan tersebut.
Untuk mengatur pembangunan kota akibat bertambahnya jumlah penduduk, maka disusun suatu pedoman dasar bagi pembangunan Kota Bandung dengan “Rencana Kota Bandung” (Plan der Negorij Bandoeng). Dengan adanya rencana ini, maka dimulailah lebih terarah dan terkendali. Pada tahun 1850, mulailah dibangun Masjid Agung serta Pendopo Kabupaten-saat ini terletak di pusat Kota Bandung. Adanya ruang terbuka, alun-alun, yang berhadapan dengan pendopo yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, serta dibangunnya bangunan-bangunan lain yang berfungsi sebagaifasilitas pelayanan dan penunjang kegiatan pemerintahan kota, seperti kantor pos, penjara, bank dan pasar-mencerminkan tipe pusat kota tradisional dengan sedikit pengaruh Barat.
Itulah sekilas sejarah berdirinya kota Bandung, yang mana dalam perjalanannya Bandung sempat dipersiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, dengan rencana memindahkan ibu kota pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Maka Bandung dipersiapkan sedemikian rupa untuk perpindahan tersebut, salah satunya dengan membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan pemukiman dengan rencana tata ruang yang baik.
(Sumber: Courtessy Bandung Society for Heritage Conservation)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar !